Kamis, 18 Desember 2014

Semangat Hijrah Membangun Mental Mandiri

Semangat hijrah seharusnya bisa menjadi solusi atas masalah kemandirian umat. Inilah yang dibuktikan Rasulullah SAW dan generasi pertama para Sahabat.
Hijrah menjadi titik balik umat Islam dari posisi lemah menjadi kuat; tertindas menjadi penguasa dunia; dan tergantung menjadi mandiri.
Bila sebelumnya kaum Muslim ketika itu amat sulit mengaktualisasikan nilai-nilai tauhid dalam kehidupan sosial, setelah hijrah, kesempatan itu terbuka luas. Bahkan, hanya dalam waktu 10 tahun, tatanan Islam yang agung dapat terwujud. Waktu yang teramat cepat untuk sebuah revolusi peradaban.
Begitulah kenyataannya. Sejak peristiwa hijrah, Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, membawa misi rahmatan lil alamin, sesuatu yang sebelumnya tampak mustahil terwujud.
Sedemikian strategisnya peristiwa itu, hingga Sang Amirul Muminin Umar bin Khaththab, atas usul Ali bin Abu Thalib, menetapkanya sebagai tahun pertama dalam penanggalan Islam.
Sayangnya, saat ini kemandirian umat di pentas peradaban masih memprihatinkan. Jika kita belum betul-betul mandiri, bagaimana mungkin kita akan menjadi pioner kebangkitan umat?
Mental Mandiri
Kita harus akui, sampai hari ini umat Islam masih memiliki mental ketergantungan. Jangankan mereka yang hidup kekurangan, mereka yang kaya sekali pun lebih suka menengadahkan tangan ketimbang memberi.
Bila demikian, selamanya kita akan tergantung kepada pihak lain. Mental ini harus diubah. Kita harus berhijrah dari mental tergantung kepada mental mandiri.
Mental mandiri tampak sekali menjadi karakter dasar generasi awal Sahabat. Abdurrahman bin ‘Auf, misalnya, menjadi teladan kemandiran selain Rasulullah SAW sepanjang sejarah umat Islam.
Ketika tiba di tanah hijrah, Yatsrib alias Madinah Al-Munawwarah, Abdurrahman bin ‘Auf tidak membawa harta. Karena itu, Sa'ad bin Ar Rabi' yang dipersaudarakan dengannya oleh Rasulullah SAW, berkata, "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh dari hartaku itu. Aku juga mempunyai dua istri. Pilihlah mana yang engkau suka. Aku akan menceraikannya untukmu."
Mendengar tawaran itu, Abdurrahman bin ‘Auf bukannya menerima, melainkan dengan halus menolaknya sambil menjawab penuh percaya diri, "Semoga Allah memberkahi bagimu keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja aku di mana pasar kalian."
Abdurrahman bin ‘Auf bukan tipe orang yang sombong, tapi ia lebih suka mandiri, berusaha mendapatkan hasil dari keringatnya sendiri. Dan terbukti, dalam waktu singkat, ia sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan dalam tempo yang tidak terlalu lama, ia sudah menikahi gadis Madinah. Karena kerja kerasnya, iapun pada akhirnya menguasai perkonomian Madinah.
Kita kagum dengan kedermawanan Sa'ad yang rela berbagi dengan saudaranya. Tapi kita juga tak kalah kagumnya dengan Abdurrahman bin ‘Auf yang dalam keadaan terbatas pun masih memiliki mental kemandirian yang amat kokoh. Ia sama sekali tak ingin bergantung pada orang lain. Mental mandiri inilah yang menjadikan mereka umat yang kuat.
Spirit Tauhid
Sejenak setelah berhijrah, Rasulullah SAW mengingatkan dan meluruskan tujuan berhijrah kepada para Sahabatnya dalam sebuah Hadits. Sabda itu begitu penting dan mendasar, sehingga Imam Syafi’i menyebutnya sebagai sepertiga ilmu.
Sesungguhnya, kata Rasulullah SAW berpesan, semua amal itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap orang itu mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya pun kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya pun untuk apa yang dia niatkan. (Riwayat Bukhari)
Kuatnya semangat berhijrah generasi pertama Sahabat dimotivasi oleh tauhid. Mereka menuju Madinah demi meraih ridha Allah SWT, bukan untuk mencari dunia atau menikahi wanita.
Motivasi tauhid yang suci inilah yang tertanam sehingga memberikan dorongan semangat untuk menuju Islam yang kaffah. Mereka menjalankan berbagai aktivitas kehidupan sosial, termasuk berekonomi atau berkeluarga, adalah karena Allah SWT semata.
Kalau ekonomi yang menjadi pertimbangan, bagi Abdurrahman bin ‘Auf, Makkah sesungguhnya lebih strategis. Makkah saat itu kota dagang dan transit, sementara Madinah kota agraris.
Di Madinah, Abdurrahman bin Auf iharus mulai berdagang dari nol lagi. Karena kegigihannya ia kembali menuai sukses. Ia menjadi konglomerat.
Tapi motivasi Sahabat yang agung itu bukan untuk menumpuk harta. Saat harta dibutuhkan untuk perjuangan Islam, tak segan ia menyisihkannya dengan mudah. Bahkan dalam jumlah yang teramat besar. Spirit kemandiriannya bukan materialisme, tetapi tauhid. Harta bukan tujuan tetapi alat mencari ridha Allah SWT.
Seandainya saat itu banyak yang berniat hijrah karena kepentingan ekonomi, atau cinta, rasanya revolusi peradaban sulit terwujud. Yang terjadi sekadar perpindahan penduduk seperti pada umumnya.
Namun tujuan mereka ketika itu mencari ridha Allah, sehingga walaupun teramat berat, segala pengorbanan di jalan Allah SWT menjadi nikmat.
Spirit tauhid seperti itulah seharusnya kita jadikan nilai utama dalam membangun kemandirian di zaman sekarang ini. Segala aktivitas haruslah menunjang nilai utama ini. Kalau berdagang, janganlah asal untung, sedangkan halal haram tak dipedulikan. Jika mendapat jabatan, jadikan amanah tersebut sebagai sarana ber-amar ma’ruf nahi munkar, bukan aji mumpung untuk menumpuk kekayaan.
Bila kita masih menjadikan materi sebagai alasan utama, hendaklah kita segera berhijrah dengan menjadikan tauhid sebagai alasan utama. Firman Allah SWT: Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam." (Al-An'am [6]: 162)
Tanpa spirit tauhid, apa yang kita lakukan ibarat jasad tanpa ruh. Hanya dengan spirit tauhid hati kita akan tercerahkan. Dan jika hati terbuka, Allah pun berkenan memberdayakan jiwa kita untuk menjadi kokoh mandiri.
Jamaah yang Mandiri
Untuk membangun sebuah gedung, bahkan yang paling sederhana sekali pun, butuh jamaah. Para pekerja hanya akan dapat bekerja bila berada dalam suatu jamaah. Tanpa jamaah, tak ada pekerjaan besar yang bisa dilakukan. Kalau dipaksakan, akan terjadi benturan dan tabrakan.
Bila membangun gedung saja perlu jamaah, apalagi membangun peradaban yang dibingkai oleh semangat kemandirian, mutlak dibutuhkan jamaah. Terbangunnya kehidupan sosial yang Qur'ani pada generasi Sahabat disebabkan karena mereka berhijrah dengan semangat berjamaah.
Sejak hijrah, jamaah pendukung dakwah Islam kian jelas. Mereka ada dalam satu garis kepemimpinan; yaitu Allah SWT, Rasulullah SAW, dan orang-orang yang beriman.
Dengan kepemimpinan yang jelas semua potensi bisa dirakit menjadi kekuatan riil menuju kejayaan. Umat pun benar-benar jadi mandiri.
Allah menyukai orang-orang yang perjuangannya dalam barisan yang teraratur. Firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuakai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaaff [61]: 4)
Tanpa jamaah, kaum Muslim tak bisa dibariskan, apalagi digerakkan. Hanya sekadar kerumunan. Tidak bisa menjadi pemain, tapi sekadar penonton. Bahkan tak jarang malah menjadi obyek yang diombang-ambingkan musuh. Jangankan membangun peradaban Islam, sekadar bisa selamat saja sulit.
Tak akan banyak yang bisa kita lakukan jika kita hidup ber- Islam dengan sendiri-sendiri. Lihatlah! Berbagai rekayasa musuh terus mencabik-cabik umat seakan-akan mereka sedang memperebutkan hidangan. Semua itu lagi-lagi tak bisa dihadapi sendiri-sendiri. Kita harus berjamaah dan terpimpin untuk mewujudkan visi Islam yang rahmatan lil alamin.
Tidak sempurna Islam tanpa jamaah. Tak sempurna jamaah tanpa kepemimpinan. Tak ada kepemimpinan tanpa ketaatan. Dan, tak ada ketaatan tanpa komitmen kesetiaan. Demikian perkataan Umar RA, yang ringkasnya, tidak sempurna Islam tanpa jamaah yang efektif.
Mari bangkit dengan hijrah mental, spirit, dan jamaah. Jadilah generasi mandiri, pioner kebangkitan umat menuju peradaban Islam.

Dikutip dari : Suara Hidayatullah